NAMA | Hijrah Anggraini Nashuha |
LABEL | Lomba Cerpen |
JUDUL | Broken Home (No!) |
Broken home kata orang anak yang akan menjadi korban. Kata orang pula anak itu akan menjadi nakal. Ah! Orang bodoh saja yang akan berpikir seperti itu. Hanya orang yang tidak punya otak, untuk menjadi nakal hanya karena kecewa orang tua mereka berpisah.
Ya! Aku memang salah satu dari anak yang orang tuanya bercerai. Bahkan sekarang ini ayahku sudah menikah lagi. Namun hubunganku dengan ayah baik-baik saja, dengan ibu pun begitu. Dan akan terus begitu untukselanjutnya.
Tak pernah kupungkiri jika aku juga kecewa. Pernah terluka dan merasa tak ada gunanya. Bahkan kehadiranku di tengah-tengah ayah dan ibuku tak menjadi alasan untuk mereka terus bersama.
***
"Ceraikan aku, yah! Aku lelah terus kau duakan. Aku tahu tak ada cinta lagi diantara kita, tapi tak seharusnya kau selingkuh di belakangku!" teriak ibu waktu itu.
Sungguh hati ini terkejut tak terkira. Ayah, yang begitu lembut bisa bermain di belakang ibu. Waktu itu usiaku baru menginjak 14 tahun. Masih kecil memang, tapi waktu itu sudah cukup bagiku untuk merasa sakit dan kecewa.
"Maafkan aku bu! Tak pernah sekalipun hati ini ingin menyakitimu. Namun aku jatuh hati padanya, tepat saat mata ini beradu aku kembali seperti remaja yang jatuh cinta," jawab ayah kala itu.
Dari dalam kamar tanpa sepengetahuan mereka aku mendengar setiap detail kata yang terucap. Air mataku turun, isakan kecil menyelimuti tangisku. Namun, tak satupun dari mereka menyadari.
***
Hari berlalu, kupikir mereka hanya bertengkar biasa. Layaknya aku marah kepada ibu saat ibu memasak makanan yang kubenci. Atau saat aku marah ketika ayah lupa untuk menjemput diriku saat pulang sekolah. Namun ternyata aku salah, apa yang mereka pertengkarkan bukanlah hal sepele layaknya yang kulakukan.
"Aini!" panggil lembut ibuku padaku ketika aku sedang belajar.
"Ya, bu!" jawabku berhenti sejenak belajar hanya untuk melihat wajah kuyu ibuku. Firasat buruk terasa entah dari sudut mana. Semakin ibu mendekat, semakin terasa kuat.
"Nak, dengarkan ibu!" begitu ucapnya mengawali setiap kata yang siap untuk menusuk jantungku. "ibu dan ayahmu akan berpisah. Tapi bukan berarti kamu tak memiliki ayah atau ibu lagi. Ibu masih ibumu dan ayah masih tetap ayahmu, sekalipun kami berpisah," lanjutnya.
"Tapi kenapa bu?" tanyaku, mencoba bertanya bahwa apa yang kuragukan memang salah.
"Ada alasan di setiap tindakan. Ibu dan ayahmu juga memiliki alasan mengapa kami berpisah, dan ibu yakin kamu sudah cukup dewasa untuk menerima semua ini," jawabnya semakin membuatku ragu. Aku kembali menangis untuk hal yang sama. Ibu memelukku, mengelus-elus rambutku setiap kali aku menangis karena sesuatu. Tapi kali ini ibu dan ayah yang membuatku menangis.
***
Hal yang tak kuinginkan benar-benar terjadi. Ayah dan ibuku benar-benar berpisah. Bohong, jika aku bilang baik-baik saja. Munafik, jika kubilang aku bisa melanjutkan hidupku seperti biasanya. Aku sama seperti orang lain, aku terluka dan kecewa bahkan aku tak fokus belajar selama satu bulan. Nilaiku menurun, aku menjadi seorang pemalas. Namun, aku masih punya otak untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan diriku. Aku mencoba bangkit dari sisa-sisa keterpurukan. Tetap tegar diantara luka yang masih segar. Aku berhasil, meski tak sebentar untuk itu semua.
Suatu ketika, bahkan belum genap setahun ayah dan ibuku bercerai. Ayah berniat untuk menikah lagi. Rasanya ... Ah! Entahlah bagaimana ak menjelaskannya.
"Aini, ayah tahu kamu kecewa. Ayah juga tahu kamu akan lebih kecewa, namun kamu harus tahu dari mulut ayahmu ini. Nak! Tolong restui ayah untuk menikah kembali," begitu ucapnya. Ingatan saat ayah dan ibu bertengkar kembali berputar dalam otakku. Ucapan ayah kala itu terus terngiang-ngiang. Satu tanya masih tersimpan 'Apa perempuan itu adalah orang yang sama yang membuat ayah dan ibu berpisah?'. Namun, itu hanya sebatas dalam otakku saja.
"Apa ibu setuju?" hanya itu yang mampu kuucap.
Kulihat ayah mengangguk. Tak ada lagi alasan bagiku untuk menolak, bahkan rasa egoisku terlalu tinggi untuk itu.
"Selama ayah bahagia, aku tak apa. Asal ayah tak lupa padaku dan ibu," satu syarat yang kuyakin ayah mampu untuk menyanggupinya.
"Baiklah, terima kasih sayang," ucapnya sembari memelukku, pelukan terakhir sebelum aku harus berbagi kasih sayang ayah dengan orang lain.
***
Sampai saat ini, ketika ayahku sudah memiliki dua orang anak. Kami masih berhubungan baik. Aku bahkan akrab dengan kedua adikku itu, meski berbeda ibu. Ibuku? Sampai saat ini ia masih sendiri, pernah suatu kali aku memintanya untuk mencari pendamping hidup. Namun, sungguh tak kusangka.
"Ibumu ini sudah terlalu tua untuk menikah lagi. Ibu hanya ingin melihatmu menikah dan bahagia nak," begitu jawabnya. Yah, memang hidup tak bisa ditebak garis ceritanya. Karena Tuhan yang menggariskan. Namun apapun itu, ayah tetaplah ayahku. Danibu adalah ibu terbaikku. Karena kami adalah keluarga, ada darah mereka yang mengalir di tubuh ini. Meski keadaan tak lagi sama, tapi Tuhan pun tak lagi bisa merubah bahwa aku adalah anak ayah dan ibuku.
Sragen, 01 Agustus 2016
Cerpeninidibuat oleh Hijrah Anggraini Nashuha. bisa dihubungi melalui no Hp 087836926382. atau akun fb hijrah anggraini n. dan email hijrahanggraini07@gmail.com
0 Response to "Cerpen Broken Home (No!)"
Posting Komentar