Cerpen Semalam Di Yogya

Ikhwanul Halim

Cerpen

Semalam Di Yogya
13 Februari 1988. Kamu datang ke Yogya menemuiku,
tiba-tiba saja pagi dini hari muncul di pintu besi yang memisahkan
halaman depan dengan bagian belakang,
tempat deretan kamar-kamar berukuran 3x3 meter yang menjadi
pondokan mahasiswa golongan menengah sepertiku.
Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Besok Hari Kasih Sayang, begitu alasanmu.
Seharusnya kamu mengirim telegram agar aku dapat menjemputmu
ke stasiun Tugu, kataku. Aku segera bergegas mandi sementara kamu menunggu.
Tak ingin berlama-lama sebelum ibu kos bangun dan menemukan seorang
gadis termangu di kursi tamu depan kamarku,
maka dua puluh menit kemudian kamu dan aku sudah duduk
di bangku panjang warung SGPC Selokan Mataram.
Kamu makan sop daging nasinya setengah saja,
aku nasi pecel yang kuahnya banjir. Teh kemulan untuk kita berdua.
Kamu bertanya mengapa disebut begitu. Teh berselimut, kataku.
Jargon pramusaji untuk minuman hangat. Kamu mengernyitkan dahi,
tersengat manis rasa gula. Kamu biasa minum teh tawar.  
Kamu menatap sekeliling warung. Aku menatap orang-orang.
Selain pramusaji, belum ada wajah-wajah yang kukenal
mengisi bangku-bangku panjang. Selain aku, kamu tak kenal siapa-siapa di situ.

Kamu bilang kamu rindu aku, karena sudah sebulan aku tak berkunjung
ke rumahmu yang jaraknya 600 kilometer dari tempat kita duduk saat itu.
Aku jawab aku sibuk. Selesai makan kamu mengeluarkan dompet.
Di atas sepeda motor bututku, kamu berteriak manja agar aku tidak ngebut.
Kamu belum pernah naik sepeda motor. Pinggangku kamu peluk erat.
Aku sesak nafas. Di Candi Prambanan,
kamu bilang kamu menyesal tidak membawa kamera.

Kemarin sepulang sekolah kamu berangkat terburu-buru.
Bahkan kamu hanya menyandang tas berisi kosmetika saja, tanpa baju ganti.
Tukang foto keliling menawarkan jasa. Kita berfoto berdua dengan latar candi
yang sedang direstorasi. Kemudian kita menuju Maliboro.
Di sebuah department store, kamu membeli baju dan celana berikut peralatan mandi.
Kamu membelikan baju dan celana untukku juga.

Kamu dan aku menuju hotel bintang empat di jalan Malioboro.
Dari jendela kamar di lantai tiga aku melihat kereta api keluar masuk stasiun.
Kamu menyalakan keran air panas untuk mengisi bathtub.
Badanku rasanya lengket, katamu. Sementara kamu mandi,
aku menonton televisi sambil berbaring di ranjang besar yang empuk.  
Ketika kamu membangunkanku, aku sedang bermimpi berada di atas
kapal pinisi yang berlayar mengelilingi Antartika. Baju polo garis-garis hijau putih
dan celana drill pendek yang tadi kamu beli tampak serasi.
Pahamu putih seperti pualam. Kita mengunjungi benteng Vredeburg.
Kita memasuki keraton. Kita melihat-lihat lukisan di sejumlah galeri
di Suryadiningratan. Kamu selalu bergayut di lenganku seakan
takut aku akan hilang di keramaian.  Lagi-lagi kamu mengernyitkan
dahi saat menyantap gudeg di salah satu rumah makan menuju Parangtritis.
Manis, katamu. Lebih manis kamu, gombalku. Menyusuri pasir putih,
terkadang berlari menghindari kejaran buih. Sekali kamu menabrakku
hingga kita berdua terjatuh. Gelak tawamu bersaing dengan
deburan ombak pantai selatan. Hingga matahari beranjak tenggelam dijemput senja.

Malam hari, kita menyusuri Malioboro. Di depan hotel Yogya Kembali,
aku mengajakmu menyantap Lele Goreng Mas Yanto.
Kita duduk di tikar yang digelar di atas trotoar berpagar.
Kepada setiap pengamen yang menjajakan suara kamu mengulurkan recehan.
Piring di hadapanmu licin tandas menyisakan tulang ikan. Enak, katamu.
Selesai makan kamu mengeluarkan dompet. Kita kembali menyusuri
jalan Malioboro melawan arah kendaraan menuju hotel.
Sudah hampir tengah malam namun kendaraan masih ramai lalu lalang.
Tidak terlalu dingin, masih jauh lebih dingin kotamu. Namun kamu berjalan sambil memeluk pinggangku. Akhirnya kita tiba di kamar hotel. Kamu dan aku bersama-sama
menyikat gigi untuk menghilangkan bau amis. Kemudian kita naik
ke atas ranjang tanpa bersalin baju. Aku mencintaimu, katamu.
Dan kamu langsung tertidur. Nyenyak. Wajahmu saat tidur seperti bayi.
Aku menyalakan televisi. Sengaja suaranya kukecilkan
supaya tak mengganggu tidurmu. Aku bingung.
Alasan apa yang harus kuajukan pada Ghea besok,
karena tak apel malam minggu ke pondokannya di jalan Kaliurang?

Bandung, 22 Juli 2016 *Kisah ini hanya fiksi. Don't try this at all.  

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/ayahkasih/semalam-di-yogya_57921109a2afbd7b1b61aa30

 

0 Response to "Cerpen Semalam Di Yogya"

Posting Komentar